JAKARTA - Di era digital yang semakin maju, pengalaman horor tidak lagi hanya dirasakan lewat cerita tradisional di sekitar api unggun atau film layar lebar. Kini, gelombang baru hiburan horor muncul dalam bentuk konten audio yang digemari oleh kalangan muda, khususnya Gen Z. Sound Horeg, fenomena horor berbasis suara yang tengah viral di Jawa Timur, menghadirkan sensasi menegangkan melalui efek suara yang menyeramkan, jumpscare mendadak, serta kisah urban legend lokal. Namun di balik popularitasnya, Sound Horeg menyimpan lapisan makna sosial-budaya dan dampak kesehatan yang kompleks, serta menimbulkan persoalan psikologis yang tak kalah penting. Artikel ini mencoba mengurai tiga dimensi utama fenomena tersebut: aspek budaya digital, ancaman kesehatan fisik, dan tantangan psikologis komunitas pendengarnya.
Dimensi Sosial-Budaya: Transformasi Cerita Rakyat di Era Digital
Sound Horeg merupakan adaptasi modern dari warisan cerita rakyat horor khas Jawa Timur, seperti kisah Kuntilanak Pakis dan Genderuwo Alas Roban. Perubahan paling mencolok terletak pada siapa dan bagaimana cerita tersebut disampaikan. Dulu, cerita horor ini biasanya disampaikan oleh tetua masyarakat sebagai pengingat nilai moral dan norma sosial. Kini, Sound Horeg diproduksi secara massal oleh para kreator amatir yang memanfaatkan platform digital untuk menggaet perhatian dan sensasi semata.
Fenomena ini memperlihatkan apa yang dikenal dengan istilah demokratisasi horor, di mana akses pembuatan dan penyebaran cerita tidak lagi terbatas pada kelompok tertentu, melainkan terbuka lebar untuk siapa saja yang mampu memproduksi konten. Tak hanya itu, ketakutan pun mengalami proses komodifikasi dipasarkan sebagai produk yang menguntungkan. Kreator top Sound Horeg bahkan dapat meraih pendapatan hingga puluhan juta rupiah per bulan melalui iklan dan kerja sama brand.
Uniknya, Sound Horeg juga menampilkan glokalisasi digital, yakni penggabungan lokalitas Jawa Timur lewat dialek dan latar cerita yang menguatkan ikatan emosional pendengar sekaligus memperkokoh stereotip “Jawa Timur angker”. Namun, ketika horor berubah menjadi hiburan massal seperti ini, ada kekhawatiran nilai budaya asli dari cerita-cerita tersebut mulai memudar dan tergerus komersialisasi.
Dimensi Kesehatan: Risiko Suara Berbahaya bagi Pendengar
Tak hanya menyuguhkan hiburan, efek suara yang keras dan tiba-tiba dalam Sound Horeg membawa ancaman nyata bagi kesehatan pendengarnya. Paparan suara dengan intensitas lebih dari 85 desibel dapat mengganggu kesehatan telinga secara serius. Paparan selama lebih dari 15 menit pada level suara 100 desibel bahkan berpotensi merusak sel-sel rambut koklea di telinga bagian dalam secara permanen, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Di Jawa Timur, kasus tinnitus sensasi berdenging di telinga meningkat signifikan pada kalangan remaja, mengindikasikan dampak negatif suara keras dari konten digital semacam ini. Selain gangguan pendengaran, efek suara jumpscare yang memicu lonjakan adrenalin berulang juga bisa menyebabkan stres kardiovaskular dengan peningkatan tekanan darah dan detak jantung.
Paparan suara keras secara terus-menerus juga membawa efek kumulatif bagi pengguna earphone, terutama anak-anak yang sering mendengarkan dengan volume maksimal. Mereka berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat kebisingan tiga kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak terpapar. Ironisnya, generasi yang sadar pentingnya kesehatan justru terpapar risiko dari hiburan yang mereka sukai dan ciptakan sendiri.
Dimensi Psikologi Komunitas: Ketakutan yang Dirancang dan Dampaknya
Dampak psikologis dari fenomena Sound Horeg bersifat halus namun sistemik. Stimulus audio horor yang intens memicu hiperaktivasi amigdala pusat emosi di otak yang dapat menimbulkan gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder) khususnya pada anak-anak yang memiliki riwayat trauma.
Lebih jauh lagi, paparan berulang terhadap konten horor menyebabkan desensitisasi emosional. Pendengar menjadi kurang peka terhadap rasa empati dan cenderung mengalami peningkatan agresivitas. Contohnya, di sebuah sekolah dasar di Jember, sejumlah siswa meniru adegan Sound Horeg untuk menakut-nakuti teman mereka, yang berujung pada serangan panik.
Lebih kompleks lagi, otak manusia dapat mengasosiasikan kejutan mendadak dari jumpscare dengan pelepasan dopamin, zat kimia yang memberi sensasi “hadiah”. Akibatnya, pendengar, khususnya anak-anak dan remaja, dapat menjadi ketagihan dan terus mencari pengalaman horor yang sama, meski tahu risiko kesehatan yang mengintai.
Fenomena ini menjadi paradoks bagi generasi muda saat ini, yang banyak memuja konsep self-care dan kesehatan mental, tetapi juga menikmati konten yang justru bisa merusak diri mereka sendiri.
Menyatukan Budaya, Kesehatan, dan Etika Digital
Menyikapi fenomena Sound Horeg, diperlukan pendekatan yang menyeluruh agar budaya dan kesehatan dapat terjaga tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi di ranah digital. Regulasi konten yang ketat menjadi solusi penting, misalnya mewajibkan platform untuk memasang pembatas volume otomatis serta label peringatan “konten sensitif” agar pendengar lebih waspada.
Selain itu, pendidikan literasi digital menjadi kunci bagi sekolah dan orang tua dalam mengajarkan kebiasaan sehat dalam menggunakan perangkat digital, termasuk risiko paparan suara keras dan batasan usia yang aman untuk mengakses konten horor.
Bagi para kreator konten, perubahan arah dengan mengedepankan format yang lebih edukatif dapat menjadi jalan keluar, seperti menyisipkan pesan moral dalam cerita horor atau mengangkat fakta ilmiah terkait mekanisme rasa takut dalam otak.
Sound Horeg adalah cermin dari zaman yang serba digital dan cepat, menghadirkan hiburan horor yang memikat dan mengasyikkan bagi generasi muda. Namun, di balik itu terdapat tanggung jawab bersama untuk menjaga agar tradisi budaya tidak terkikis, kesehatan pendengar tidak terancam, dan dampak psikologis dapat diminimalisir.
Mari kita nikmati sensasi horor yang menegangkan tanpa mengorbankan keselamatan fisik maupun mental, melestarikan kearifan lokal tanpa mengeksploitasi ketakutan sebagai komoditas, serta berkreasi secara etis di dunia digital demi komunitas yang sehat dan harmonis.